Sabtu, 25 April 2009

Sekolah Siap Mencetak Generasi Amoral


Kegelisahan baru muncul dari lembaga pendidikan indonesia, selagi polemik Ujian Nasional masih bergejolak. Selama proses Ujian Nasional SMA dan sederajatnya, tersiar fakta bahwa kecurangan dalam proses evaluasi tersebut terdapat bermacam variasi kecurangan baik dilakukan antar siswa maupun adanya keterlibatan guru dan pihak sekolah. Hal ini menunjukan ketidakberhasilan sekolah sebagai salah satu Lembaga Budaya yang bermartabat.
Menurut Raymond Williams dalam Budaya dan Masyarakat ( 2006 ;6), bahwa dalam sosiologi budaya terdapat tiga komponen budaya yaitu lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya atau norma-norma. Dalam hal ini sekolah dikategorikan sebagai lembaga budaya yang akan mencetak generasi-generasi beretika, bernorma dan mempunyai kualitas spiritual yang mapan. Dengan demikian, perilaku mencontek, dan pencurian lembar soal oleh guru maupun pihak sekolah demi meningkatkan prosentase kelulusan telah mengabaikan norma dan merendahkan kualitas spiritual itu sendiri.
Berbagai sebab melatarbelakangi tindakan tersebut diantaranya adalah kesadaran dari para pendidik di sekolah tersebut akan kualitas siswa mereka yang rendah. Hal ini diperburuk dengan kondisi sosial dan geografis yang tidak menjamin mutu pembelajaran mereka. Dibandingkan dengan sekolah yang lebih mapan tingkat sosial maupun kondisi geografisnya, dirasakan adanya ketidakadilan apabila standar kelulusan diseragamkan. Namun daya apa yang dapat merubah sistem ini. Maka dari itu, kecurangan-kecurangan demikianlah yang dirasa dapat menolong siswa sekaligus menjaga kualitas sekolah dimata masyarakat dengan menunjukan prosentase kelulusan yang tinggi. Demikianlah potret proses evaluasi dengan standar nasional di negeri kita ini. Negeri yang siap terisi oleh generasi-generasi yang miskin intelektual, norma, dan spiritual.

Rabu, 18 Februari 2009

Dijual:murah, gratis ataukah terjangkau

Dijual: murah, gratis atau terjangkau.

Banjir, memang identik dengan bulan penutup hingga membuka tahun baru di Indonesia. Dipandang sebuah kewajaran, hingga masyarakat menganggapnya hal biasa. Namun tidak demikian banjir di awal tahun ini. Jelang Pemilu 2009, poster dan spanduk – spanduk kampenye calon legeslatif membajiri sepanjang jalan di berbagai daerah di negeri ini. Masing – masing caleg berkompetisi untuk merebut simphaty massa dengan memakai atribut yang bervariatif. Lengkap pula dengan foto dan slogan kampanye. Slogan yang ditawarkan pun hanya sebatas janji-janji tanpa menyertakan visi dan misi mereka, para calon rakyat. Sudah tentu, slogan yang mereka pilih adalah sebuah harapan masyarakat. “sembako murah”, “pendidikan gratis” atau bahkan “BBM murah”. Apakah harapan tersebut adalah sebuah utopis?. Hingga kesan membual pun layak sebagai penilaiannya.

Pembukaan UUD’45 mengamanatkan bahwa Negara menjamin keadilan bagi warganegara hingga tercipta kemakmuran. Maka seharusnya, warganegara Indonesia hidup makmur dengan pelayanan terbaik dari Negara. Terbaik apabila masyarakat tidak menemukan kesulitan lagi saat terlayani. Namun, ketika laju perekonomian dalam negeri mengalami kemerosotan, pemerintah tidak dapat berkutik karena tekanan dunia internasional tentang harga BBM di pasar dunia. Subsidi di cabut, konversi minyak ke gas, hingga kenaikan harga tarif premium BBM. Pasar dalam negeri pun bermain. Hal ini yang menyebabkan kelangkaan BBM di pasaran. Inilah kesulitan utama yang dihadapi industri rumah tangga. Sehingga harapan mereka yang paling utama adalah penurunan harga BBM.

Akhir 2008, Pemerintah mengumumkan penurunan harga. Awam menganggap kebijakan tersebut adalah sebuah prestasi. Namun apa yang sebenarnya terjadi, memang sewajarnya demikian. Hal ini ditujukan oleh beberapa Negara yang menurunkan harga hingga 100%. Malaysia contohnya. Dengan demikian, harapan masyarakat tercapai. Kenyataan bicara lain, system produksi, distribusi BBM kembali menuai kritik tajam yaitu bahwa kelangkaan BBM di beberapa SPBU menunjukan kecerobohan system distribusi yang menyulitkan rakyat. dalam hal ini pengendali system produksi ada dibawah kuasa pemerintah.

Dengan fenomena tersebut, slogan murah bukan lagi sebuah cita-cita seorang caleg. Karena hampa ketika masyarakatpun tidak dapat menjangkaunya. Bagaimana jika terjadi pada system pendidikan yang gratis?kita lihat saja nanti…fastabiqul khairat