Dijual: murah, gratis atau terjangkau.
Banjir, memang identik dengan bulan penutup hingga membuka tahun baru di Indonesia. Dipandang sebuah kewajaran, hingga masyarakat menganggapnya hal biasa. Namun tidak demikian banjir di awal tahun ini. Jelang Pemilu 2009, poster dan spanduk – spanduk kampenye calon legeslatif membajiri sepanjang jalan di berbagai daerah di negeri ini. Masing – masing caleg berkompetisi untuk merebut simphaty massa dengan memakai atribut yang bervariatif. Lengkap pula dengan foto dan slogan kampanye. Slogan yang ditawarkan pun hanya sebatas janji-janji tanpa menyertakan visi dan misi mereka, para calon rakyat. Sudah tentu, slogan yang mereka pilih adalah sebuah harapan masyarakat. “sembako murah”, “pendidikan gratis” atau bahkan “BBM murah”. Apakah harapan tersebut adalah sebuah utopis?. Hingga kesan membual pun layak sebagai penilaiannya.
Pembukaan UUD’45 mengamanatkan bahwa Negara menjamin keadilan bagi warganegara hingga tercipta kemakmuran. Maka seharusnya, warganegara Indonesia hidup makmur dengan pelayanan terbaik dari Negara. Terbaik apabila masyarakat tidak menemukan kesulitan lagi saat terlayani. Namun, ketika laju perekonomian dalam negeri mengalami kemerosotan, pemerintah tidak dapat berkutik karena tekanan dunia internasional tentang harga BBM di pasar dunia. Subsidi di cabut, konversi minyak ke gas, hingga kenaikan harga tarif premium BBM. Pasar dalam negeri pun bermain. Hal ini yang menyebabkan kelangkaan BBM di pasaran. Inilah kesulitan utama yang dihadapi industri rumah tangga. Sehingga harapan mereka yang paling utama adalah penurunan harga BBM.
Akhir 2008, Pemerintah mengumumkan penurunan harga. Awam menganggap kebijakan tersebut adalah sebuah prestasi. Namun apa yang sebenarnya terjadi, memang sewajarnya demikian. Hal ini ditujukan oleh beberapa Negara yang menurunkan harga hingga 100%. Malaysia contohnya. Dengan demikian, harapan masyarakat tercapai. Kenyataan bicara lain, system produksi, distribusi BBM kembali menuai kritik tajam yaitu bahwa kelangkaan BBM di beberapa SPBU menunjukan kecerobohan system distribusi yang menyulitkan rakyat. dalam hal ini pengendali system produksi ada dibawah kuasa pemerintah.
Dengan fenomena tersebut, slogan murah bukan lagi sebuah cita-cita seorang caleg. Karena hampa ketika masyarakatpun tidak dapat menjangkaunya. Bagaimana jika terjadi pada system pendidikan yang gratis?kita lihat saja nanti…fastabiqul khairat
