Sabtu, 12 Januari 2008

Mencintai kehidupan

Kehidupan adalah proses. Tentu saja kita semua hafal dengan kalimat tersebut. Namun tak jarang kita mengeluh disaat terhimpit oleh kegagalan, kekecewaan, dan kejenuhan. Hal itu wajar mengingat ada tempat gelisah pada manusia, namun apakah lantas dimaklumi?. Dua hari yang lalu, saya telah menamatkan bab tentang cinta terhadap kedupan dari buku Erich From (cinta, seksualitas, dan matriarkhi). Terdapat kutipan bahwa kehidupan adalah lawan dari kematian yang diartikan bahwa kehidupan adalah sebuah proses pertumbuhan dan perubahan yang apabila berhenti maka berarti kematian. Setiap orang memiliki komposisi kebutuhan dan karakter yang berbeda. Sebuah analogi : pohon apel tidak akan pernah menjadi pohon ceri. Tetapi keduanya dapat dibedakan atau disamakan keindahannya tergantung pada kondisinya. hal ini berarti bahwa usaha masing2 orang sangat diperhitungkan dalam keberlangsungan hidupnya. Karakter seseorang terbentuk dari posisinya dalam proses interaksi dengan lingkungan awal. Karakter itu diperkaya pengetahuan yang pada akhirnya membuat sebuah pemahaman atau bahkan fantasi tentang kehidupan yang ideal. Dalam berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas akan bertemu dengan individu2 yang berbeda latar belakang, maka peluang persinggungan akan sangat besar. Dengan demikian, masing2 orang akan mengamankan individu mereka masing2. Segala sesuatu yang ia peroleh untuk pengamanan dirinya bisa dikatakan sebagai kebutuhan. semua itu terintegrasi dalam sebuah proses pertumbuan hidup seseorang. Kejenuhan bisa datang dikarenakan ketidaktahuan tentang apa yang harus diperjuangkan. so, apakah kita masih akan mengeluh? saya teringat sms seorang teman beberapa bula lalu" Hidup dan nasib bisa tampak misterius, fantastis, dan sporadis, namun setiap elemenya adalah subsiatem keteraturan dari sebuah design holistik yang sempurna."...trimakasih telah membantuku memaknai hidup dan kehidupan lebih dewasa dari sebelumnya.

Jumat, 04 Januari 2008

Hikmah..

Archived Posts from this Category
December 27, 2007
Rp 23 Triliun untuk Hal yang HaramPosted by resonansia under Hikmah Ahmad Tohari No Comments
Oleh. Ahmad Tohari
Kata seorang teman, ada yang berubah pada diri Gus Mus atau Mustofa Bisri, kiai seniman dari Rembang itu. Disampaikan kepada saya, wajah Gus Mus jadi kian berseri dan jernih? “ada apa rupannya”Tanya saya.”dia sudah berhasil menghentikan kebiasaan merokok. Itulah rupannya yang menyebabkan terjadi perubahan pada wajahnya” jawab teman saya.
Terpujilah Allah. Semoga banyak pribadi panutan yang berhenti merokok agar banyak orang menirunya. Ya merokok. Kebiasaan buruk yang konon berawal dari tradisi orang Indian itu kini telah melanda dunia. Demikian besar daya cengkeraman rokok atas kehidupan manusia sehingga ada orang yang menganggapnya sebagai salah satu ironi peradaban manusia. Betapa tidak; sudah diketahui dengan pasti bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, ganguan jantung, dsb, tapi konsumsi dan industri rokok terus dan terus berkembang.
Masih bias ‘dipahami ‘ bila perkembangan rokok hanya terjadi di negeri yang sudah makmur. Tapi tidak demikian kenyataannya. Di Negara miskin seperti Indonesia pun konsumsi rokok telah mencapai angka mengerikan. Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Sarimun Hadi Saputro,mengungkapkan, biaya yang dikeluarkan oleh keluarga miskin Indonesia untuk belanja rokok mencapai Rp.23 Triliun per tahun. Diperkirakan 19 juta keluarga miskin Indonesia mengkonsumsi rokok sehingga jumlah biaya yang dikeluarkan sangat fantastis, setara dengan harga 5,8 juta ton beras dan lebih tinggi dari subsidi BBM untuk mereka.
Ya, itulah faktanya. Masyarakat miskin menyia-nyiakan dana Rp.23 Triliun per tahun untuk sesuatu yang bukan hanya sia- sia melainkan buruk bagi mereka. Dan yang buruk itu malah lebih diutamakan daripada hal yang baik dan perlu seperti gizi, pendidikan, atau kesehatan bagi keluarga mereka. Lihatlah di sekeliling kita, banyak sekali orang yang mendahulukan rokok daripada susu, buah- buahan, atau buku untuk anak- anak mereka.
Atau bicaralah dengan kaidah agama, maka merokok oleh fikih yang sudah ketinggalan zaman dihukumi makruh (berpahala bila ditinggalkan). Ketinggalan zaman karena fikih kuno itu membutakan mata terhadap penemuan ilmiah modern yang menyatakan bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, ila akhirihi, yakni sesuatu yang bisa mengancam kehidupan manusia. Bahkan rokok juga dipercaya menjadi jendela untuk memasuki dunia narkoba. Artinya, merokok seharusnya dihukumi haram (berdosa bila dilakukan).
Anehnya rezim rokok terus berjaya. Pemerintah boleh dibilang sama sekali tidak berniat mengendalikan kekuatan yang jelas- jelas merusak itu. Sebabnya, seperti pernah oleh Prof Sumitro Djojohadikusumo,industri rokok masih sangat penting bagi perekonomian Indonesia dan pendapatan negara. Dari sisi pandang ekonomi semata, pak Mitro memang benar. Data tahun 2006 menunjukkan pendapatan APBD di seluruh Indonesia industri rokok mencapai Rp. 83 Triliun. Selain itu, ribuan petani tembakau dan puluhan ribu pekerja industri rokok ikut menggantung hidup dari bisnis nikotin ini.
Untuk itulah agaknya pemerintah membiarkan para kapitalis industri rokok menggoda masyarakat dengan iklan yang luar biasa gencar dan dahsyat. Kayaknya pemerintah tak peduli atas korban iklan ini,yakni puluhan juta orang- orang miskin yang jatuh menjadi lebih miskin lagi. Masih untung ada lembaga konsumen indonesia yang dengan kekuatan yang tidak seberapa berhasil mendesakkan peringatan akan bahaya merokok. Sayangnya peringatan itu menjadi semacam ironi. Karena, meski tertulis pada setiap bungkus rokok, juga pada setiap iklannya, kekuatan peringatan itu seakan sirna oleh mitos kenikmatan merokok.
Sebagai salah satu anomali dalam kehidupan manusia, rokom rasanya tidak bisa dihilangkans secara total dari muka bumi. Apalagi dari bumi Indonesia yang masyarakatnya telah dibina dengan sukses oleh para kapitalis rokok, dan rezim nikotin telah menjadi bagian penting bagi perekonomian Indonesia. Maka rokok akan tetap menjadi bagian dari ironi sepanjang masa.
Sampai kapan ironi atau bahkan tragedi ini akan terus berlangsung? Mengapa para ulama ahli fikih tidak berani mengharamkannya? Mengapa mereka masih berpegang pada ukuran masa lalu? Dulu memang belum bisa dibuktikan keburukan merokok bagi kesehatan badan. Tetapi sekarang sudah terbukti merokok berbahaya bagi kehidupan. atau okelah, kata mereka merokok hanya makruh. Tapi kata mereka pula perkara, perkara makruh yang dilanggengkan hukumnya naik menjadi haram.
Daftar pertanyaan ini membuat saya kembali terbayang akan wajah Gus Mus , guru dan senior saya. Dia telah berhenti merokok. Saya berharap hal ini akan diikuti oleh para tokoh yang biasa merokok. Bahkan hal ini kirannya bisa menjadi pembuka mata para ahli fikih bahwa merokok memang sepantasnya dihukumi haram. Mungkin ini harapan yang terlalu tinggi, namun saya amat bersungguh- sungguh. [Republika

Kehormatan

Sebuah pertanyaan membuat si aku gelisah,
seperti apkah kehormatan yang sering diributkan byk orang2
lalu, si aku memutuskan untuk bertanya pada seorang buta
baru saja mengajukan pertanyaan, sekelompok pemuda menghampiri
ha...ha...ha.., hey,.mengapa kau tanyakan pada si buta?
Si aku acuh, kemudian mengulangi pertanyaannya kembali pada si buta
si buta menjawab; kehormatan ada pada seseorang ketika ia memuliakan orang lain
Si aku heran, dan bertanya kembali
jika benar demikian, mengapa sering diperdebatkan?
si buta menggeleng,"coba tanyakan pada si pembuat tongkat
Bertanyalah si aku pada si pembuat tongkat,
alangkah terkejut si pembuat tongkat mendengar pertanyaanya
Sejenak ia merenung dan kemudian meneteslah air matanya
"inilah kehormatan", ia memperlihatkan sebuah tongkat dari kayu jati dan berukir naga
sambil menyngkirkan tongkat untuk si buta yang sedang ia buat

Refleksi..

Kita kadang lupa untuk menghargai diri sendiri..padahal, Tuhan menyuruh kita untuk menghargai ciptaanNya. Barangkali kita berdosa bila diri sendiri saja tak terurus.