Sebulan sudah aku kembali merasakan hawa kampung halaman, setelah lima tahun yang lalu menimba ilmu di Yogyakarta. Sekilas pandang tampak masih seperti dahulu saat pertama kali aku meninggalkannya, Kotaku tetap kota yang sibuk, dengan keterbukaan karakter yang dimiliki masyarakatnya menambah ketertarikan pendatang untuk bermukim di sini. Namun, di bulan pertama ini aku merasakan banyak hal yang berubah. Berniat akan bernostalgia di Gang2 sempit sepulang sekolah SMP dan SMA, aku hampir lupa bentuk beberapa rumah temanku lagi. Alhamdulillah, Rumah yang dahulu berpagar bambu, sekarang sudah dikelilingi pagar permanen besi maupun tembok dengan warna2 yang agak mencolok mata. Pesat sekali pertumbuhan ekonomi disini. Semenjak Kawasan industri dibangun di daerah pantai dan selatan Rawa, berbondong investor datang. Bukan sebuah keniscayaan lagi, jika pertumbuhan ekonomi rakyat pesat, maka meningkat pula kompetisi kerja. Imbasnya adalah, sebuah perjuangan hidup yang tipis akan nilai. Demi uang semua cara halal di tempuh. Degradasi moral, dan kejahatan merajalela. Begitu pula keadaan politik. Reformasi, tidak lagi menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat. Masyarakat sangat bergantung pada politik berpamrih imbalan. Siapa saja yang Kaya raya, Ia lah penguasanya. Dan pengusaha lah berada di belakang konspirasi politik yang ada.
Pemerintahan yang otoriterian mulai tampak, setelah zaman “kuningisasi’ orde baru. Meskipun hanya berubah warna saja. Institusi-institusi sekolah menjadi lahan untuk mengerahkan massa sebagai legitimasi politik. Sebagaimana yang terjadi beberapa waktu lalu, Bupati mengadakan Rekor Muri dengan membentangkan tongkat yang dibuat dan di bawa oleh siswa2 smp sepanjang 3000 meter lebih. Kemudian, plaksanaan2 event lain yang memanfaatkan SDM sekolahan. Tidak hanya pelajar sekolah yang menjadi korban. Namun, Pegawai negeri sipil menjadi tumpangn politik penguasa yang ada. Yang “manut”, pangkat naik. Tapi, Yang hampir terlihat membangkang langsung di mutasi. Seperti halnya yang terjadi pada p. Son Haji, Guru Sma ku dulu. Ia di pindah tugaskan di daerah pelosok seketika setelah ia mengingatkan waktu shalat asar dengan sopan dan beretika pada sebuah Forum pembinaan dari Ket. DPRD. Dengan segera, pihak DPRD menyelidik identitas dari guru tersebut. Kemudian keesokan harinya, Ia di mutasi. Padahal telah mengabdi sudah hampir 10 tahun di SMA favorit di kota ini. Bukan hanya satu saja contoh, P.Tumarjo, ia pun dulu guru SMA ku pengajar tata Negara. Sudah dua tahun lalu, ia menjabat Kepala Sekolah SMA negeri di kotaku. Kemarin, Ia dituduh ingin mendirikan Negara Islam Indonesia. Tuduhan ini dilatarbelakangi oleh bersedianya Istri guru tersebut di calonkan sebagai Caleg dari salah satu partai. Pengaruh istri guru itu lumayan besar pada sektor pendidikan dan agamawan. Kabar terakhir p.tumarjo di beri kesempatan untuk minta maaf pada Dewan. Namun ia bersikeras tidak akan minta maaf suatu hal yang tidak pernah ia lakukan. Apalagi mencium sepatu penguasa zalim. Na’udzubillah...Where are you PDM?
Pemerintahan yang otoriterian mulai tampak, setelah zaman “kuningisasi’ orde baru. Meskipun hanya berubah warna saja. Institusi-institusi sekolah menjadi lahan untuk mengerahkan massa sebagai legitimasi politik. Sebagaimana yang terjadi beberapa waktu lalu, Bupati mengadakan Rekor Muri dengan membentangkan tongkat yang dibuat dan di bawa oleh siswa2 smp sepanjang 3000 meter lebih. Kemudian, plaksanaan2 event lain yang memanfaatkan SDM sekolahan. Tidak hanya pelajar sekolah yang menjadi korban. Namun, Pegawai negeri sipil menjadi tumpangn politik penguasa yang ada. Yang “manut”, pangkat naik. Tapi, Yang hampir terlihat membangkang langsung di mutasi. Seperti halnya yang terjadi pada p. Son Haji, Guru Sma ku dulu. Ia di pindah tugaskan di daerah pelosok seketika setelah ia mengingatkan waktu shalat asar dengan sopan dan beretika pada sebuah Forum pembinaan dari Ket. DPRD. Dengan segera, pihak DPRD menyelidik identitas dari guru tersebut. Kemudian keesokan harinya, Ia di mutasi. Padahal telah mengabdi sudah hampir 10 tahun di SMA favorit di kota ini. Bukan hanya satu saja contoh, P.Tumarjo, ia pun dulu guru SMA ku pengajar tata Negara. Sudah dua tahun lalu, ia menjabat Kepala Sekolah SMA negeri di kotaku. Kemarin, Ia dituduh ingin mendirikan Negara Islam Indonesia. Tuduhan ini dilatarbelakangi oleh bersedianya Istri guru tersebut di calonkan sebagai Caleg dari salah satu partai. Pengaruh istri guru itu lumayan besar pada sektor pendidikan dan agamawan. Kabar terakhir p.tumarjo di beri kesempatan untuk minta maaf pada Dewan. Namun ia bersikeras tidak akan minta maaf suatu hal yang tidak pernah ia lakukan. Apalagi mencium sepatu penguasa zalim. Na’udzubillah...Where are you PDM?

1 komentar:
Hanya orang-orang yang benar-benar berIman mampu menjalani hidup ini sebagai jembatan untuk meraih kebahagiaan sejati disisiNya.
Ayo may buat perubahan...ALLAHU AKBAR
Posting Komentar