Minggu, 30 Desember 2007


Rekonstruksi Identitas Indonesia Menjelang Titik Nadir Akibat Penetrasi Kaum Neo-Imperialis
Oleh : Umi Nahari
Layaknya sebuah persembahan kegembiraan pada bangsa, Koes Plus bersenandung hingga ke pelosok-pelosok negeri ini untuk mengabarkan pada masyarakat bahwa kita sudah sepatutnya bersyukur dan bergembira karena memiliki bangsa yang menyerupai surga. Namun bukan kesalahan Koes Plus bila kenyataan bicara lain. Pada akhir decade 80an, pada saat terbuka luasnya cakrawala pemuas kebutuhan, terjadilah perubahan tatanan pola hidup dalam masyarakat Indonesia. Karawitan sebagai symbol budaya jawa yang syarat akan pesan filosofis etnik semakin ditertawakan oleh mereka yang muda. Tahu dan tempe dengan kualitas protein tinggi sudah tergantikan dengan gorengan kentang yang disebut stick, demikian pula dengan dunia fashion, bangga menggunakan sweater tebal ala penyanyi rap amrik dibawah terik matahari yang kian membakar rasanya. Hingga suatu saat tertangkaplah seorang remaja laki-laki dengan tuduhan pemakai sekaligus pengedar Narkoba dan saat ditanyakan alasanya maka ia menjawab, hanya karena ingin disebut gentle dan menyerupai anak-anak nge-punknya Amrik. Jika semua jawaban berujung pada kebanggaan atas Amrik lalu apa bedanya Amrik dan Indonesia?. Tidak hanya membiasnya gaya hidup, pemerintah sebagai penyelenggara Negara yang seharusnya mampu menjaga keutuhan nagara ditengah kompetisi global, kian menafikan amanah mulianya. Dengan bergabungnya Indonesia dalam Block AFTA dan WTO, semakin menegaskan bahwa posisi Indonesia semakin tersetir oleh pihak neo-liberalis dari para agen The Economic Hit Man macam IMF atau Bank Dunia. Membukitnya hutang yang sudah jatuh tempo pembayaran, memaksa pemerintah menembus jalan pintas dengan privatisasi asset nasional hingga penjualan pulau pada investor asing. Apakah hanya atas nama kebahagiaan yang bersifat materialis, identitas bangsa harus tergadaikan?. Berbeda dengan Jepang dan China yang tetap memegang teguh kekuatan tradisi sebagai bagian dari budaya. Dengan demikian budaya sebagai identitas kebangsaan semakin mengkristal dan tertanam kokoh pada generasi selanjutnya. Kedaulatan Negara pun tak mudah goyah.
Kemapanan abad pertengahan yang terlalu lama dikuasai oleh institusi agama mendorong para intelektualis berani menelusuri arus inovatif dengan menciptakan hal-hal baru. Berawal dari renaissance eropa mulai memasuki dunia yang berbeda dari sebelumnya, maka inilah yang dinamakan modernisasi. Demikian pula yang terjadi pada Indonesia. Pada masa colonial, penjajah telah memperkenalkan modernitas pada masyarakat pribumi, dengan pergulatan dunia colonial selama kurang lebih 3,5 abad, hibridasi bentuk budaya sebagai konsekuensi dampak kolonialisme tak terabaikan lagi. Pengaruh modernisasi yang tajam dirasakan pada bidang seni, pergeseran cita rasa pada puisi, fiksi, drama serta arsitektur. Pemikiran modern yang merasuk dalam kegiatan seni menimbulkan gerakan modernisme. Para semiman yang sangat kreatif dalam melahirkan karya-karya avant-grade kemudian menjadi mode atau trade mark untuk merintis berbagai pembaharuan. Kebaruan karya-karya tersebut menjadi ukuran kebesaran mereka sebagai seniman modern. Tentu saja karya-karya modern tersebut berorientasi futuristic dan meninggalkan segala bentuk tradisi. Dalam hal ini seniman dapat bisa dianggap antene masyarakat yang peka terhadap kebutuhan akan pembaharuan (Fowler dalam Basis). Maka dimulailah petualangan identitas sebagai tumbal atas keberhasilan kolonialisme. Bagi Hebermas, terdapat unsure penanda dalam modernisasi; unsure pertama, terbentukya dua subsistem yang semakin tidak terkuasai yaitu rasionalitas ekonomi pasar (uang) dan subsistem yang kedua adalah subsistem kekuasaan administrative (nagara birokratis). Dengan penafsiran bahwa warga masyarakat modern semakin mengarahkan tindakannya pada pertimbangan ekonomis dan pragmatis dengan peraturan-peraturan birokrasi Negara. Hal ini berindikasi hubungan relasi manusia sebagai barang komoditi. Konstitusi Negara menjadi legitimasi kekuasaan dimana aturan Negara diikuti begitu saja tanpa pengamatan apakah bertentangan dengan aturan agama atau tidak. Unsur yang kedua adalah sikap masyarakat modern terhadap alam, moralitas (sikap terhadap manusia) dan seni tak lagi menyatu (sebagaimana masih terlihat pada masyarakat bali), melainkan menjadi wilayah-wilayah yang terpisah masing-masing dengan rasionalitasnya sendiri. Hingga terkotaknya wilayah etika dengan arus kepentingan. Dengan demikian memicu terjadinya konflik moralitas. Modernisasi di Indonesia terwujud dalam konsep pembangunan yangmenawarkan sebuah jaminan kesejahteraan bagi masyarakat. Dampak negative pembangunan diantaranya, pembangunan telah melanggengkan pengangguran, menumbuhkan ketidakmerataan, dan menaikan kemiskinan absolute dan lain sebagainya. Dengan kata lain, tingkat keberhasilan dan keuntungan proses pembangunan hanya ditentukan pihak pemodal. Semakin jauh rentan jarak antara si kaya dan si miskin. Kemajuan teknologi mengakibatkan proses produksi UKM sangat bergantung untuk mengkonsumsi technologi tersebut. Secara otomatis biaya produksi meningkat, dan semakin terhimpit dalam kompetisi kejamnya modernisasi. Mode membawa masyarakat Indonesia memburu hasil produksi barat. Perhatian pemerintah terhadap sector UKM sangat rendah. Keadaan semacam ini semakin mencekik keadaan ekonomi rakyat. Modernitas memaksa setiap manusia untuk berkompetisi mendapatkan existensinya dengan pencarian identitas. Maka benar menurut Jean Badrillard, bahwa kegiatan manusia pada sebuah era modernitas adalah pencarian identitas semu sebagai wujud dari sebuah existensi. Maka dari itu berbondong-bondonglah orang mendatangi Mc Donald dari pada Mc dono. Barat telah berhasil menjadi parameter sebuah identitas modernitas.
Satu hal yang tidak boleh terlupakan bahwa Indonesia pernah melewati masa kolonialisme yang teramat panjang, sebuah analisa histories bahwasannya bentuk-bentuk kolonilisme akan menciptakan sebuah pengaruh hegemonic dari si penjajah yang superior kepada si terjajah yang inferior. Pengaruh Hegemonic dilakukan dengan serangkaian teknik dan pola dominasi demi pencapaian usaha penguasaan atas harta, benda serta wilayah.(Loomba,Annia 2000;3). Demikian yang terjadi di Indonesia selama tiga abad. Setelah kedaulatan dapat terwujud maka berbagai kampanye anti penjajahan pun didengungkan seperti halnya analisa dalam laella Gandhi, pada masa transisi, koloni Negara bekas jajahan akan mengkampanyekan anti penjajahan maka sebuah sketsa pasca kolonialisme di Indonesia membuktikannya, orasi kebangsaan Sukarno yang menggebu atas semangat kemerdekaan dan anti penjajahan, serta pembangunan monument-monumen perjuangan sebagai symbol nostalgia akan kolonialisme. Akan tetapi usaha-usaha tersebut sebenarnya disertai sebuah rasa ketakutan yang besar akan adanya konflik dalam masyarakat. Maka ketika Soekarno yang bersikap represif terhadap barat dan kemandirian sebagai symbol independensi dinilai gagal dalam pemerintahannya, sebuah tuduhan menukik padanya, masyarakat menganggap orasi-orasinya hanya sebuah khayalan saja. Kemudian Soeharto menggaungkan konsep kemerdekaan berdasarkan versinya yaitu tercapainya masyarakat adil dan makmur. Hal itu merupakan terobosan baru untuk mendefinisikan parameter kemerdekaan adalah pada tingkat kemapanan ekonomi. Peningkatan sector ekonomi tercapai bahkan pada tahun 1983-1984 Indonesia telah mencapai surplus sumber pangan. Sungguh prestasi yang luar biasa. Bermula dari saat itulah cakrawala informasi terbuka lebar, media elektronik bermunculan menawarkan produk terbaru, informasi yang bersumber dari barat membanjir. Hingga membuat masyarakat Indonesia terpukau dengan kemajuan tingkat kehidupan barat. Lambat laun masyrakat meninggalkan sector produksi dan beralih pada ranah konsumsi. Seiring dengan keberalihan tersebut, pihak asing mengambil alih peran sebagai pelaku produksi untuk memanfaatkan sumber bahan mentah yang melimpah, demi efisiensi dan efektifitas biaya produksi, pemodal asing tersebut menggunakan tenaga kerja Indonesia pada tingkat ekonomi menengah kebawah. Dengan strategi bisnis tanpa etika dan menjanjikan kompensasi yang menggiurkan bagi pejabat, mereka leluasa mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Berbagai maneuver ekonomi dilakukan oleh pihak asing terhadap Indonesia. Meniru Machiavelli, mereka menempuh segala cara demi mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Sistem Etika, nilai serta kesadaran spiritual yang terabaikan dalam melakukan transaksi bisnis, dan politik membuka peluang korupsi, mark-up anggaran Negara, serta penyalahgunaan lainnya. Pengendalian sector produksi sudah berhasil dikuasainya, eksploitasi terhadap bahan produksi dikelola tanpa memperhatikan nilai penghargaan pada alam hingga pencemaran limbah serta terancam tenggelamnya beberapa pulau karena aktivitasnya, dan bencana alam datang tak kenal lelah sebagai jawaban alam atas penindasan terhadapnya. Dalam analisa histories tersebut, terungkaplah sebuah analisa bahwa biasnya identitas bangsa dalam rantai arus modernitas saat ini memungkinkan bagi Indonesia terbelenggu kembali pada rantai hegemonic pihak penguasa. Namun bukan hanya harta, benda dan wilayah sebagai target penguasaan, namun sudah melibatkan system global dalam penguasaan oleh pemodal dengan pengendalian atas struktur ekonomi, dengan kompetisi dunia industrialisasi. Imperialisme adalah kata yang tepat sebagai istilah perubahan bentuk dari kolonialisme modern ini. Dalam kajian poskolonialisme, Honni K.Bhaba kondisi cultural selalu berada dalam wilayah kontradiksi dan ambivalensi sehingga klaim terhadap sebuah hierarkhi kemurnian budaya-budaya menjadi tidak dapat dipertahankan lagi. Konsepsi tersebut mengarah pada Hibriditas. Maka dari itu, budaya terjajah melebur dengan budaya baru si penjajah atau bahkan budaya masyarakat terjajah menjadi hilang. Status ‘manusia modern’ hanya untuk mereka yang melakukan seperti mode-nya. Tradisi mimikri ini terus lestari akibat makin terlembaganya kebiasaan tersebut dalam mind set budaya mayoritas anak muda Indonesia zaman sekarang. Apabila semakin pesatnya industrialisasi budaya pop pada decade 80an meningkat sampai sekarang maka identitas kebangsaan Indonesia berada pada titik nadir. Keadaan tersebut adalah gambaran dari matinya kemerdekaan Indonesia.
Dinamika perubahan yang terbentuk akibat proses rasionalitas dari modernisasi dan factor siapa penguasa atas modernitas memaksa nasionalisme angkat bicara. Dari proses kedua masa, modernisasi dengan imperialisme dapat ditarik benang merah yaitu hilangnya system nilai, norma, kesadaran cultural serta spiritualitas. Berdasarkan ulasan diatas bahwa budaya sebagai symbol dari identitas patut kita tumbuh kembangkan kembali menjadi asset kebangsaan.
Modernitas tak bisa terelakkan lagi dan kini kita memasuki abad semiotic dimana tanda sebagai identitas untuk mencapai eksistensi. Namun dalam menanggulangi bahaya matinya identitas, maka sudah saatnya bagi semua warganegara Indonesia untuk melakukan serangkaian refleksi dan diskursus akan persoalan yang ada. Seperti halnya Anthony Giddens beranggapan bahwa matinya peradaban selalu diawali dengan miskinnya kesadaran reflektif dan diskursif(discursive consciousness). Jika masih menginginkan sebuah keutuhan Negara dan bangsa yang berperadapan, maka kecerdasan dalam mengolah ide yang mengarahka pada solusi gerakan pembebasan harus didialektikakan bersama. Dan bila kita bicara masalah kebersamaan maka yang menjadi kata kunci awal adalah kesadaran akan nasionalisme kebangsaan.
Seiring mengalirnya proses kreatif hasil dari rasionalitas, sebuah karya budaya akan cenderung jauh dari kemurnian, maka dari itu penemuan identitas tersebut bukan berarti kembali mencari pemurnian tradisi seperti sediakala, tetapi lebih jauh kita memaknai yaitu pembentukan identitas local. Perjuangan-perjuangan antikolonialisme harus dapat menciptakan identitas-identitas baru yang kuat bagi rakyat-rakyat terjajah, dan menentang kolonialisme bukan saja pada tingakt politis atau intelektual, tetapi juga pada tingkat emosional (loomba2000;240). Sebegitu kuatkah identitas local melawan hegemoni imperialisme? Tanah asal (home Land) tidak semata-mata merupakan fakta geografis seperti yang lazim digambarkan dalam peta, melainkan lingkungan imajiner, ranah simbolik atau suatu tempat (place) yang dengannya identitas seseorang dikonstruksikan dalam proses jangka panjang yang melahirkan memori kolektif dan narasi bersama. Berbagai hal dilakukan untuk mempercantik memori itu dan berusaha agar tetap lestari. Identitas bisa berasal dari ciri budaya yang muncul karena definisi budaya menurut Edward B. Taylor adalah keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya terkadang pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Dan telah jamak diketahui, bahwa budaya memegang peranan penting sebagai buah pikiran manusia dan sebagai penanda identitas cultural sebuah Negara. Ada yang hilang dari rimba kehidupan manusia modern. Sebuah kesadaran cultural yaitu sadar nalar dan sadar batin. Di satu sisi dunia modernisme mengagungkan rasionalitas, namun hal itu ternyata telah menggeser kesadaran batin dan kecenderungan masyarakat tradisional telah menggeser kesadaran nalar. Sehingga keduanya pincang. Kesadaran yang seimbang antara batin, rasio dan wahyu, kecerdasan dan kearifan adalah satu kesadaran akan mengarahkan pada kesadaran peradaban yaitu kesadaran cultural. Selama ada pengakuan terhadap kebudayaan, kekayaan tradisi, bahasa, kedisiplinan dan kesucian, keilmuan, dan keimanan, secara otomatis dia memiliki kesadaran cultural (Abror,h.Robby 2002;28). Namun penyadaran terhadap kepemilikan unsure budaya tersebut bukan sebuah proses instant dan hasil kinerja pihak tertentu. Ditengah kemelut kompetisi eksistensi dan ke-abu-abuan akan realitas menjadi factor yang menghambat proses penyadaran, kecuali jika semua elemen terpanggil untuk pembenahan kondisi nasiolaisme.
Menurut Hebermas, usaha untuk menghadang neo-imperialis adalah dengan:
Ø Iman kita hargai sebagai sikap pribadi; kuasa Negara kita harapkan bertindak religius netral.
Ø Para warga bertanggung jawab atas kebersamaan mampu mengontrol pasar, bukan sebaliknya.
Ø Dengan jeli kita mengamati modernisasi.
Ø Etos solidaritas (untuk menjaring kesenjangan kelas)lebih penting daripada etos prestasi.
Ø Kita menolak segala sesuatu yang melukai pribadi dan integritas kebangsaan
Ø Kuasa Negara dan pemerintah yang pantas dikontrol dalam suatu jaringan global
Apabila kita terjemahkan kedalam ruang lingkup kebangsaan Indonesia,
Maka terdapa dua ranah yang menjadi perhatian, ranah cultural dan ranah structural. Dalam ranah cultural, menyadari bahwa system nilai, norma, dan adat istiadat adalah bagian dari kebudayaan, maka internalisasi hal itu perlu diupayakan secara komprehensif tersistematis bermula pada system organisasi masyarakat yang terkecil hingga cakupan organisasi terkompleks. Kekayaan daerah akan artefak menjadikan kebanggaan atas symbol solidaritas tersebut yang berbeda dengan komunitas masyarakat lain. Dengan meningkatnya mutu pendidikan dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, meningkat pula ketajaman dalam menganalisa perkembangan modernisasi hingga pada mempersiapkan solusi apabila terdapat sebuah kesalahan. Factor kesadaran cultural yang teramat penting adalah tingkat pemahaman akan kesadaran spiritualitas sebagai rambu dan menjadikan agama sebagai panduan untuk mencari solusi permasalahan hidu yang timbul. Pada ranah srtruktural, proses penyadaran pada actor pengendali proses perubahan, Seperti halnya wejangan dari cak nun bahwa Indonesia berdiri dari lima pilar, pemimpin, tentara, rakyat, intelektualis, dan ulama. Kelima pilar tersebut harus senantiasa bekerja bersama dalam social contract. Bukan sebuah keharmonisan kerjasama namun dominasi dan ke-parsial-an gerak menjadi masalah. Tentu saja mereka mempunyai peran masing-masing dalam ruang kenegaraan. Tingkat komunikasi yang aktif diharapkan mampu membuka ruang diskursus antar golongan dalam membicarakan secara objektif nasib kebangsaan. Peran Pemerintah sebagai pengelola kebijakan Negara mampu memperhatikan keinginan serta kondisi rakyat, Intelektualis sebagai penelaah perkembangan ilmu pengetahuan harus dapat menerjemahkan penafsirannya kepada rakyat dan membuat antitesis sebagai gerakan transformative yang kemudian disampaikan pada pemerintah, Posisi Ulama menyiapkan rambu-rambu norma spiritual pada jalannya perubahan tatanan kehidupan berbangsa dan menyiapkan agama sebagai solusi masalah social. Tentara sebagai perisai keutuhan Negara memantau pasti kondisi territorial dan memberikan pengamanan pada rakyat. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, harus mampu merespon gejala-gejala nasional seputar usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah, intelektualis, ulama dan tentara. Apapun yang terjadi, mampu untuk berusaha mandiri dalam mengusahakan kesejahteraan.` Tentara

Usaha berikutnya adalah kejelian dalam melihat kearifan local sebagai asset kekayaan nasional, namun kreatifitas local tanpa diimbangi dengan penyusunan system yang berpihak pada mereka akan berakhir pada menumpuknya keuntungan pada pemodal saja. Sistem ekonomi kerakyatan bung Hatta sebenarnya solusi yang cukup bijak untuk mengatasi masalah perekonomian Indonesia. Bagaimana koperasi terbentuk sebagai peta relasi antar produsen. Dalam konteks Indonesia saat ini, Keadaan ekonomi rakyat sangat terpuruk, hutang makin membukit, dan korupsi merajalela. Maka pemerintah beserta actor lainnya secara tegas memperhitungkan asset nasional dan menjaganya agar tetap dikelola oleh bangsa sendiri. RUU Penanaman Modal Asing merupakan pertanda bahwa identitas kita nyaris tergadaikan. Yang menjadi point identitas adalah ketika Indonesia mempunyai sikap tegas terhadap kedaulatannya, dan pengamanan asset nasional sekencang-kencangnya.
Bibliografy
Abror,H Robby.2002.Tasawuf Sosial. AK group Yogyakarta
Gandhi,Laella. 1998.Teori Poskolonial.Qalam.Yogyakarta.
Fakih, Mansour.2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Insist.Yogyakarta.
Loomba,Annia.2000.kolonialisme/Pascakolonialisme.Bentang Budaya.Yogyakarta
Turner, Bryan.2000. Teori-Teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas.Pustaka Pelajar.Yogyakarta.

Tidak ada komentar: