Sabtu, 20 September 2008

Kotaku:Tipis Nilai

Sebulan sudah aku kembali merasakan hawa kampung halaman, setelah lima tahun yang lalu menimba ilmu di Yogyakarta. Sekilas pandang tampak masih seperti dahulu saat pertama kali aku meninggalkannya, Kotaku tetap kota yang sibuk, dengan keterbukaan karakter yang dimiliki masyarakatnya menambah ketertarikan pendatang untuk bermukim di sini. Namun, di bulan pertama ini aku merasakan banyak hal yang berubah. Berniat akan bernostalgia di Gang2 sempit sepulang sekolah SMP dan SMA, aku hampir lupa bentuk beberapa rumah temanku lagi. Alhamdulillah, Rumah yang dahulu berpagar bambu, sekarang sudah dikelilingi pagar permanen besi maupun tembok dengan warna2 yang agak mencolok mata. Pesat sekali pertumbuhan ekonomi disini. Semenjak Kawasan industri dibangun di daerah pantai dan selatan Rawa, berbondong investor datang. Bukan sebuah keniscayaan lagi, jika pertumbuhan ekonomi rakyat pesat, maka meningkat pula kompetisi kerja. Imbasnya adalah, sebuah perjuangan hidup yang tipis akan nilai. Demi uang semua cara halal di tempuh. Degradasi moral, dan kejahatan merajalela. Begitu pula keadaan politik. Reformasi, tidak lagi menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat. Masyarakat sangat bergantung pada politik berpamrih imbalan. Siapa saja yang Kaya raya, Ia lah penguasanya. Dan pengusaha lah berada di belakang konspirasi politik yang ada.
Pemerintahan yang otoriterian mulai tampak, setelah zaman “kuningisasi’ orde baru. Meskipun hanya berubah warna saja. Institusi-institusi sekolah menjadi lahan untuk mengerahkan massa sebagai legitimasi politik. Sebagaimana yang terjadi beberapa waktu lalu, Bupati mengadakan Rekor Muri dengan membentangkan tongkat yang dibuat dan di bawa oleh siswa2 smp sepanjang 3000 meter lebih. Kemudian, plaksanaan2 event lain yang memanfaatkan SDM sekolahan. Tidak hanya pelajar sekolah yang menjadi korban. Namun, Pegawai negeri sipil menjadi tumpangn politik penguasa yang ada. Yang “manut”, pangkat naik. Tapi, Yang hampir terlihat membangkang langsung di mutasi. Seperti halnya yang terjadi pada p. Son Haji, Guru Sma ku dulu. Ia di pindah tugaskan di daerah pelosok seketika setelah ia mengingatkan waktu shalat asar dengan sopan dan beretika pada sebuah Forum pembinaan dari Ket. DPRD. Dengan segera, pihak DPRD menyelidik identitas dari guru tersebut. Kemudian keesokan harinya, Ia di mutasi. Padahal telah mengabdi sudah hampir 10 tahun di SMA favorit di kota ini. Bukan hanya satu saja contoh, P.Tumarjo, ia pun dulu guru SMA ku pengajar tata Negara. Sudah dua tahun lalu, ia menjabat Kepala Sekolah SMA negeri di kotaku. Kemarin, Ia dituduh ingin mendirikan Negara Islam Indonesia. Tuduhan ini dilatarbelakangi oleh bersedianya Istri guru tersebut di calonkan sebagai Caleg dari salah satu partai. Pengaruh istri guru itu lumayan besar pada sektor pendidikan dan agamawan. Kabar terakhir p.tumarjo di beri kesempatan untuk minta maaf pada Dewan. Namun ia bersikeras tidak akan minta maaf suatu hal yang tidak pernah ia lakukan. Apalagi mencium sepatu penguasa zalim. Na’udzubillah...Where are you PDM?

Minggu, 14 September 2008

Cerita dari Jalaludin Rumi

"Dengarkanlah bagaimana seruling mengisahkan hikayahnya, Ia merintih akibat penyakit perpisahan, ia menuturkan ,.'sejak aku dipisahkan dari tetumbuhan di hutan belantara, manusia menangis mendengar ceritaku. Aku mengerang akibat sakit 'perpisahan'. sampai akhirnya aku membuat paduan ilmu rindu.
Maka mulai saat itu, semua yang berdiri terpisah dari tempat asalnya, akan terus mencai jalan pertemuan dengannya."

Sabtu, 13 September 2008

Turun tanah,..

"Segala sesuatu yang kita usahakan akan berbuah kebaikan bila didasarkan ketulusan untuk beribadah" kata ibuku.
Agustus awal adalah mula perjumpaanku dengan kampung halaman. Di sebuah smp Muhammadiyah yang sudah tidak asing di ingatan. Sekaligus mengabulkan do'aku untuk melanjutkan pengabdianku untuk pendidikan di Muhammadiyah. bukan atas dasar taqlid, namun keterpanggilan hati atas sebuah misi yang sudah pernah aku pelajari.
Tak berbeda jauh ketika aku masih duduk dan membahas tentang ketersimpangan pendidikan antara realita dan idealitas bersama kawan-kawan. Di sekolah inipun sistem yang tidak ter-manage dengan baik diperparah dengan mentalitas guru yang kehilangan misi suci nan terhormat, berakhir pada imbas sebuah pembrontakan bertahap dari para murid..sungguh mengetuk hatiku..Apalagi setelah mengetahui latar belakang kondisi siswa yang sangat butuh uluran tangan.
Kondisi ini semakin memotivasiku untuk berbuat. Namun, sekali lagi aku baru beberapa menit menapak kaki di sekolah ini. Aku sadar akan butuh proses panjang. Usaha ku sampai detik aku menulis adalah Mendengar, melihat dan menulis peristiwa demi peristiwa yang aku alami.
Satu hal yang harus aku akui adalah akupun dalam proses belajar,.,.dan peristiwa-peristiwa tersebut, InsyaAllah akan memperkaya penaku untuk mengukir perubahan dikemudian hari. amin. Fastabiqul Khairat

ketemu lagi,..

salam,.

Lama sudah saya tidak menulis di blog ini,.setelah "ngaso" untuk menyelesaikan tugas akhir kuliah, Maret lalu. Banyak keluh dan kesan yang ingin saya bagikan pada kawan-kawan. Baik selama proses penyelesaian skripsi maupun setelah itu alias saat ini. Tapi sepertinya tak cukup mahir ingatan saya untuk kembali bercerita,.jadi,.

Setelah Juli lalu resmi diwisuda, saya harus berfikir untuk memutuskan dimana akan tinggal. Jauh sebelum bulan tsbt, sempat berkeinginan untuk melanjutkan study. Bukan sebuah prestise, tapi keinginan keras ingin menimba ilmu atas sebuah kesadaran akan tantangan hidup. Tetapi, Ibu mendadak anfaal dan akhirnya aku putuskan untuk pulang kampung. Satu hal yang benar sangat sulit adalah menata niat,.godaan terbesar adalah fantasi kota jogja akan menjawab impian-impianku. Saran dari beberapa teman menguatkanku untuk memetakan diantara keinginan dan dimana saya lebih dibutuhkan,.akhirnya keputusan berakhir pada kepulanganku. Hikmah tersantun yang saya dapat adalah;'bertanyalah bukan kemana tapi mau nagapin?',.sambil mengingat tugas sebagai manusia tentu dengan BIsmillah,..

Sabtu, 12 Januari 2008

Mencintai kehidupan

Kehidupan adalah proses. Tentu saja kita semua hafal dengan kalimat tersebut. Namun tak jarang kita mengeluh disaat terhimpit oleh kegagalan, kekecewaan, dan kejenuhan. Hal itu wajar mengingat ada tempat gelisah pada manusia, namun apakah lantas dimaklumi?. Dua hari yang lalu, saya telah menamatkan bab tentang cinta terhadap kedupan dari buku Erich From (cinta, seksualitas, dan matriarkhi). Terdapat kutipan bahwa kehidupan adalah lawan dari kematian yang diartikan bahwa kehidupan adalah sebuah proses pertumbuhan dan perubahan yang apabila berhenti maka berarti kematian. Setiap orang memiliki komposisi kebutuhan dan karakter yang berbeda. Sebuah analogi : pohon apel tidak akan pernah menjadi pohon ceri. Tetapi keduanya dapat dibedakan atau disamakan keindahannya tergantung pada kondisinya. hal ini berarti bahwa usaha masing2 orang sangat diperhitungkan dalam keberlangsungan hidupnya. Karakter seseorang terbentuk dari posisinya dalam proses interaksi dengan lingkungan awal. Karakter itu diperkaya pengetahuan yang pada akhirnya membuat sebuah pemahaman atau bahkan fantasi tentang kehidupan yang ideal. Dalam berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas akan bertemu dengan individu2 yang berbeda latar belakang, maka peluang persinggungan akan sangat besar. Dengan demikian, masing2 orang akan mengamankan individu mereka masing2. Segala sesuatu yang ia peroleh untuk pengamanan dirinya bisa dikatakan sebagai kebutuhan. semua itu terintegrasi dalam sebuah proses pertumbuan hidup seseorang. Kejenuhan bisa datang dikarenakan ketidaktahuan tentang apa yang harus diperjuangkan. so, apakah kita masih akan mengeluh? saya teringat sms seorang teman beberapa bula lalu" Hidup dan nasib bisa tampak misterius, fantastis, dan sporadis, namun setiap elemenya adalah subsiatem keteraturan dari sebuah design holistik yang sempurna."...trimakasih telah membantuku memaknai hidup dan kehidupan lebih dewasa dari sebelumnya.

Jumat, 04 Januari 2008

Hikmah..

Archived Posts from this Category
December 27, 2007
Rp 23 Triliun untuk Hal yang HaramPosted by resonansia under Hikmah Ahmad Tohari No Comments
Oleh. Ahmad Tohari
Kata seorang teman, ada yang berubah pada diri Gus Mus atau Mustofa Bisri, kiai seniman dari Rembang itu. Disampaikan kepada saya, wajah Gus Mus jadi kian berseri dan jernih? “ada apa rupannya”Tanya saya.”dia sudah berhasil menghentikan kebiasaan merokok. Itulah rupannya yang menyebabkan terjadi perubahan pada wajahnya” jawab teman saya.
Terpujilah Allah. Semoga banyak pribadi panutan yang berhenti merokok agar banyak orang menirunya. Ya merokok. Kebiasaan buruk yang konon berawal dari tradisi orang Indian itu kini telah melanda dunia. Demikian besar daya cengkeraman rokok atas kehidupan manusia sehingga ada orang yang menganggapnya sebagai salah satu ironi peradaban manusia. Betapa tidak; sudah diketahui dengan pasti bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, ganguan jantung, dsb, tapi konsumsi dan industri rokok terus dan terus berkembang.
Masih bias ‘dipahami ‘ bila perkembangan rokok hanya terjadi di negeri yang sudah makmur. Tapi tidak demikian kenyataannya. Di Negara miskin seperti Indonesia pun konsumsi rokok telah mencapai angka mengerikan. Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Sarimun Hadi Saputro,mengungkapkan, biaya yang dikeluarkan oleh keluarga miskin Indonesia untuk belanja rokok mencapai Rp.23 Triliun per tahun. Diperkirakan 19 juta keluarga miskin Indonesia mengkonsumsi rokok sehingga jumlah biaya yang dikeluarkan sangat fantastis, setara dengan harga 5,8 juta ton beras dan lebih tinggi dari subsidi BBM untuk mereka.
Ya, itulah faktanya. Masyarakat miskin menyia-nyiakan dana Rp.23 Triliun per tahun untuk sesuatu yang bukan hanya sia- sia melainkan buruk bagi mereka. Dan yang buruk itu malah lebih diutamakan daripada hal yang baik dan perlu seperti gizi, pendidikan, atau kesehatan bagi keluarga mereka. Lihatlah di sekeliling kita, banyak sekali orang yang mendahulukan rokok daripada susu, buah- buahan, atau buku untuk anak- anak mereka.
Atau bicaralah dengan kaidah agama, maka merokok oleh fikih yang sudah ketinggalan zaman dihukumi makruh (berpahala bila ditinggalkan). Ketinggalan zaman karena fikih kuno itu membutakan mata terhadap penemuan ilmiah modern yang menyatakan bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, ila akhirihi, yakni sesuatu yang bisa mengancam kehidupan manusia. Bahkan rokok juga dipercaya menjadi jendela untuk memasuki dunia narkoba. Artinya, merokok seharusnya dihukumi haram (berdosa bila dilakukan).
Anehnya rezim rokok terus berjaya. Pemerintah boleh dibilang sama sekali tidak berniat mengendalikan kekuatan yang jelas- jelas merusak itu. Sebabnya, seperti pernah oleh Prof Sumitro Djojohadikusumo,industri rokok masih sangat penting bagi perekonomian Indonesia dan pendapatan negara. Dari sisi pandang ekonomi semata, pak Mitro memang benar. Data tahun 2006 menunjukkan pendapatan APBD di seluruh Indonesia industri rokok mencapai Rp. 83 Triliun. Selain itu, ribuan petani tembakau dan puluhan ribu pekerja industri rokok ikut menggantung hidup dari bisnis nikotin ini.
Untuk itulah agaknya pemerintah membiarkan para kapitalis industri rokok menggoda masyarakat dengan iklan yang luar biasa gencar dan dahsyat. Kayaknya pemerintah tak peduli atas korban iklan ini,yakni puluhan juta orang- orang miskin yang jatuh menjadi lebih miskin lagi. Masih untung ada lembaga konsumen indonesia yang dengan kekuatan yang tidak seberapa berhasil mendesakkan peringatan akan bahaya merokok. Sayangnya peringatan itu menjadi semacam ironi. Karena, meski tertulis pada setiap bungkus rokok, juga pada setiap iklannya, kekuatan peringatan itu seakan sirna oleh mitos kenikmatan merokok.
Sebagai salah satu anomali dalam kehidupan manusia, rokom rasanya tidak bisa dihilangkans secara total dari muka bumi. Apalagi dari bumi Indonesia yang masyarakatnya telah dibina dengan sukses oleh para kapitalis rokok, dan rezim nikotin telah menjadi bagian penting bagi perekonomian Indonesia. Maka rokok akan tetap menjadi bagian dari ironi sepanjang masa.
Sampai kapan ironi atau bahkan tragedi ini akan terus berlangsung? Mengapa para ulama ahli fikih tidak berani mengharamkannya? Mengapa mereka masih berpegang pada ukuran masa lalu? Dulu memang belum bisa dibuktikan keburukan merokok bagi kesehatan badan. Tetapi sekarang sudah terbukti merokok berbahaya bagi kehidupan. atau okelah, kata mereka merokok hanya makruh. Tapi kata mereka pula perkara, perkara makruh yang dilanggengkan hukumnya naik menjadi haram.
Daftar pertanyaan ini membuat saya kembali terbayang akan wajah Gus Mus , guru dan senior saya. Dia telah berhenti merokok. Saya berharap hal ini akan diikuti oleh para tokoh yang biasa merokok. Bahkan hal ini kirannya bisa menjadi pembuka mata para ahli fikih bahwa merokok memang sepantasnya dihukumi haram. Mungkin ini harapan yang terlalu tinggi, namun saya amat bersungguh- sungguh. [Republika

Kehormatan

Sebuah pertanyaan membuat si aku gelisah,
seperti apkah kehormatan yang sering diributkan byk orang2
lalu, si aku memutuskan untuk bertanya pada seorang buta
baru saja mengajukan pertanyaan, sekelompok pemuda menghampiri
ha...ha...ha.., hey,.mengapa kau tanyakan pada si buta?
Si aku acuh, kemudian mengulangi pertanyaannya kembali pada si buta
si buta menjawab; kehormatan ada pada seseorang ketika ia memuliakan orang lain
Si aku heran, dan bertanya kembali
jika benar demikian, mengapa sering diperdebatkan?
si buta menggeleng,"coba tanyakan pada si pembuat tongkat
Bertanyalah si aku pada si pembuat tongkat,
alangkah terkejut si pembuat tongkat mendengar pertanyaanya
Sejenak ia merenung dan kemudian meneteslah air matanya
"inilah kehormatan", ia memperlihatkan sebuah tongkat dari kayu jati dan berukir naga
sambil menyngkirkan tongkat untuk si buta yang sedang ia buat

Refleksi..

Kita kadang lupa untuk menghargai diri sendiri..padahal, Tuhan menyuruh kita untuk menghargai ciptaanNya. Barangkali kita berdosa bila diri sendiri saja tak terurus.